analisis raumanen
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya-karya sastra penulis ternama Indonesia telah menggoreskan
penanya pada era sebelum dan sesudah kemerdekaan republik ini.Karya sastra lahir disebabkan oleh dorongan dasar manusia untuk
mengungkapkan eksistensi dirinya, perhatian besar terhadap masalah manusia dan
kemanusiaan, serta perhatiannya terhadap dunia realitas yang berlangsung
sepanjang hari dan sepanjang zaman.Banyak pelajaran yang dapat
dipetik ketika membaca suatu karya sastra.Dengan demikian, karya sastra bisa
dikatakan juga sebagai saksi sejarah budaya dan sastra Indonesia.
Roman atau yang biasa lebih dikenal dengan sebutan novel merupakan
salah satu dari jenis karya sastra yang didalamnya juga banyak terkandung
nilai-nilai yang dapat membangkitkan motivasi
atau dorongan kepada para pembaca,termasuk novel Raumanen karya Marianne Katoppo.Ketika pertama kali novel
ini diterbitkan pada tahun 1975, Raumanen
mengundang kontroversi karena penggambarannya yang jujur tentang hubungan
lelaki dan perempuan dan tentang ketegangan antar agama dan suku sampai hal-hal
yang saat itu masih merupakan masalah yang mungkin tabu.Penulisan
novel Raumanen ini juga mengambil latar waktu 1960-an, masa dimana
Indonesia baru saja mengalami revolusi di tahun 1945, usia yang sangat muda
bagi negara republik ini. Di masa tersebut masyarakat Indonesia masih menyimpan
rasa kesukuan di tiap-tiap tempat sehingga konsep penyatuan atau yang lebih
dikenal ‘Bhineka Tunggal Ika’ kurang bisa terealisasikan dengan sempurna di
Indonesia.
Terlepas
dari banyaknya kontroversi yang ada terhadap isi novelRaumanen ini,
novel tersebut memperoleh apresiasi yang sangat baik dari kalangan sastrawan.Selain
itu, novel ini juga memperoleh penghargaan yang sangat membanggakan baik bagi
pengarang sendiri maupun Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan sebelumnya, maka dapat
ditemukan beberapa masalah yang dapat dianalisis sebagai berikut:
1. Bagaimana analisis objektif novel Raumanen karya Marianne Katoppo?
2.
Bagaimana
Konsep Bhineka Tunggal Ika yang dihadirkan Marianne Katoppo dalam tokoh
Raumanen?
C. Tujuan
Analisis melalui pendekatan objektif
dalam karya sastra karya Marianne Katoppo bertujuan
untuk:
1. Untuk mengetahui objektif novel Raumanen karya Marianne Katoppo.
2. Untuk mengetahu konflik mengenai perbedaan suku yang
terdapat dalam movel Raumanen karya
Marianne Katoppo.
D. Tinjauan Pustaka
Raumanen pernah dikaji
oleh Edhi Juwono, Jurusan Indonesia FSUI, Jakarta 1983,“Waktu Penceritaan:
sebuah Teknik Analisis yang dikenakan pada Cerkan Raumanen” membahas
mengenai sasaran penghitungan jumlah kata antartokoh dan cakapan diri, yaitu
tokoh Manen dan tokoh Monang, untuk mengetahui cakapan jenis mana yang mendapat
waktu penceritaan lebih banyak. Dari hasil perhitungandidapat angka-angka
sebagai berikut:
1) Cakapan diri antar tokoh Manen (monolog interior
langsung maupun tidak langsung) menggunakan 4.435 kata
2) Cakapan diri tokoh Monang (hanya monolog interior
langsung) menghabiskan 982 kata
3) Cakapan antar tokoh dari Manen memakai 1.546 kata
4) Cakapan antar Tokoh dari monang menggunakan 2.447
kata
Disimpulkan
bahwa, jenis cakapan yang mendapatkan waktu lebih banyak adalah jenis cakapan
diri, yakni 5.417 kata.[1]
Kemudian pernah dikaji
juga oleh Sri Handayani(2012)
merupakan skripsi di Universitas Pancasakti Tegal berjudul Analisis Nilai
Moral Religius dan Sosial Budaya dalam Novel Raumanen Karya Marianne Kattopo
dan Implikasi Pembelajaran Apresiasi Sastra bagi Siswa SMA Kelas IIIyang
membahas tentang nilai moral religius dan sosial budaya yang terkandung dalam
novel Raumanen. Dalam hal ini karya sastra di pandang sebagai medium perekam
zaman yang menggerakan masyarakat ke arah budipekerti yang baik.Dari hasil
analisis dapat disimpulkan bahwa novel Raumanen sarat dengan nilai moral
religius dan sosial budaya yang berguna bagi kehidupan masyarakat.Nilai
tersebut dapat di jadikan bahan ajar bagi pembelajaran apresiasi sastra pada siswa
SMA kelas III.[2]
Pernah
dikaji juga oleh Dwi Endah Palupi dalam skripsinya berjudul Raumanen Karya Marianne Katoppo (Suatu Pendekatan Psikologis
Sastra) yang membahas mengenai unsur psikologis dalam Novel
Raumanen, yang berupa perilaku Manen dan Monang menurut teori psikoanalisis
Freud, trauma psikis Manen, dan kategori umum gejala-gejala traumatik, yaitu:
tentang perilaku Manen menurut teori psikoanalisis Freud dipisahkan menjadi
tiga komponen yaitu Id, Ego, dan Superego dalam diri Manen. Trauma psikis Manen
dijabarkan dengan menggunakan unsur kepribadian Manen, yaitu Id, Ego, dan Superego.
Kategori umum gejala-gejala traumatik memperlihatkan bahwa selepas peristiwa
traumatik, akan timbul gejala-gejala traumatik, yang berupa mengalami trauma
awal, penghindaran diri, dan timbulnya hiper.[3]
BAB II
Bhineka Tunggal Ika dalam Novel Raumanen
Karya Marianne Katoppo
A.
Biografi
Pengarang
Henriette
Marianne katappo dilahirkan di Tomohon (Sulawesi) 9 Juni 1943.Setelah tamat SMA
pada tahun 1960 meneruskan pendidikannya di Sekolah Tinggi Theolegia.Sejak itu
aktif dalam lapangan agama, dan karena keaktifan dan jabatannya, ia dapat
meneruskan pendidikannya dalam keagamaan di Jepang. Ia juga berkali-kali
mengunjungi negara-negara di Asia, Afrika dan Eropa dalam rangka tugasnya
sebagai pengurus penyebaran agama.
Marianne katappo
mulai menulis pada tahun 1951, ketika masih berumur delapan tahun, mengisi rubrik anak-anak dalam
majalah berbahasa Belanda Nieuwsgier.Beberapa artikelnya dimuat dalam
harian Sinar Harapan dan majalah Ragi Buana, Mutiara, dan Femina.
Tahun 1975
menerima hadiah harapan Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta, hadiah Yayasan
Buku Utama tahun 1978, dan South East Asian Write Award tahun 1982atas novelnya
Raumanen, yang kemudian dimuat bersambung dalam majalah Femina. Novel
lainnya: Dunia Tak Bermusim, dimuat bersambung dalam majalah Mutiara.[4]
Cerpennya
“Supiyah”, mendapat Hadiah Hiburan Sayembara Kincir Emas Radio Nederland
Wereldomroep 1975. Karyanya yang lain: Terbangnya Punai (novel, 1978), Compassionate
and Free (1979), Anggerk Tak Pernah Berdusta (novel, 1980), Rumah
di Atas Jembatan (novel, 1981), dan Dunia Tak Bemusim. Tahun 1982,
Marianne Katoppo menerima Hadiah Sastra ASEAN.[5]
B.
Latar Belakang
Lahirnya Novel Raumane
Situasi saat
novel raumanen lahir adalah pada tahun 1970-an itu banyak sekali pengarang
wanita yang muncul, seperti bergenerasi para pengarang wanita di tahun ’70-anmendapat
gelarsatara pop, untuk membedakan tulisan mereka dengan sastra serius. Dan
di tahun 1977 novel raumanen diterbitkan pertama kali oleh Gaya Favorit Press.
Marianne Katoppo
menjelaskan bahwa awalnya Raumanen adalah salah satu bab dalam novel
pertamanya yaitu Dunia Tak Bermusim, namun karena fokusnya lain Marianne
menjadikan Raumanen suatu kisah tersendiri, hanya saja Marianne belum
menemukan bagaimana cerita Raumanen akan bermula. Namun pada suatu sore, Marianne membayangkan sosok Raumanen.
“Aku seakan-akan melihat Raumanen berdiri di taman sunyi, menunggu
tamu-tamu yang tak juga datang, mengharapkan teman-teman yang sudah lama
pergi.Dan juga menyaksikan monang datang mencarinya”.[6]
Marianne mengatakan bahwa novel Raumanen bukanlah cerita hidup
Mariane Katoppo. Lalu dia tidak begitu setuju dengan manusia-manusia yang
sebetulnya berpendidikan dan berpengetahuan tetapi masih tunduk pada hukum
adat.[7]
“… tapi kalau
dikatakan Raumanen adalah saya, itu juga tidak tepat. Katakanlah seperti
seorang pelukis. Kalau dia melihat gunung atau pohon, dia akan melukiskannya,
tapi dengan interprestasinya sendiri. …”[8]
“Dan ceritanya
juga menyampaikan suatu pesan. Maksud saya ia bukan Cuma kisah-kisah saja.
Misalnya dalam Raumanen, jelas saya tidak setuju dengan manusia-manusia yang
sebetulnya cukup berpendidikan dan berpengetahuan tetapi terlalu tunduk pada
hukum adat”[9]
Nama Raumanen sendiri didapatkan oleh Marianne dari seorang gadis
kecil yang ditemuinya saat makan siang di rumah ipar sahabatnya yaitu Aart van
der poel.
“…di
situlah saya bertemu dengan seorang gadis kecil yang lincah dan lucu, yang
bernama Romanen. ‘ini nama yang kucari!’ sorakku, …”[10]
C.
Sinopsis
Raumanen adalah gadis yang berasal dari Minahasa, ia merupakan
gadis yang aktif dalam berorganisasi dan ceria. Suatu hari ia bertemu dengan
seorang pria yang bernama Monang, pria yang bersuku Batak. Sejak pertemuan itu,
hubungan mereka semakin dekat. Hingga akhirnya mereka melakukan perbuatan yang
kurang baik di suatu tempat, Raumanen pun hamil dan Monang berjanji akan
menikahinya. Tetapi pernikahan itu tidak direstui oleh orangtua Monang dengan
alasan Raumanen bukanlah gadis yang berasal dari suku yang sama, yaitu suku Batak.
Dan monang akan segera dinikahkan dengan gadis yang bersuku sama, Batak.
Berita pernikahan Monang pun sampai ke telinga Raumanen.Hal
tersebut membuat Manen murung dan merasa takut. Kondisi fisiknya tak mengizinkannya punya anak danlagi hasil
diagnosa seorang dokter, yang juga kawan Manen, menyatakan bahwa anak yang
dikandungnya akan lahir cacat. Penyebabnya adalah penyakit siphilis yang
diderita Monang.Dokter kemudian menyarankan agar anak yang dikandungnya
digugurkan. Tentu saja Manen menolak. Ia tidak mau membunuh anaknya sendiri.
Suatu saat Manen mengurung diri di kamarnya. Ia teringat kisah cintanya
dengan Monang, teringat kebahagiaan dan kesedihannya bersama kekasih pertamanya
itu. Manen tidak mampu menutupi rasa salahnya yang dalam pada orang
tuanya. Manen tak kuasa menerima
kenyataan itu. Lalu, ia memilih jalannya sendiri, menghukum dirinya sendiri
dengan jalan bunuh diri.
D.
Analisis Novel Raumanen
Karya Marianne Katoppo
1.
Kajian Objektif
(Unsur Intrinsik)
a.
Tema
Tema merupakan
gagasan, ide, pikiran utama, atau pokok pembicaraan di dalam karya sastra yang
dapat dirumuskan dalam kalimat pertanyaan.[11]Dalam
novel Raumanen tema yang mendasari
cerita adalah kisah cinta antara dua suku, yaitu suku Batak dan Minahasa pada
tokoh Raumanen dan Monang. Kisah cinta mereka tidak bias bersatu karena adanya hukum
adat yang mengharuskan pernikahan dengan sesama sukunya, yaitu dari keluarga
Monang, Batak. Hal inilah yang menjadi pertanyaan besar karena pada masa itu
sebenarnya Indonesia sudah memegang konsep Bhineka
Tunggal Ika, yakni ‘berbeda tapi satu jua’. Makna dari konsep tersebut
bahwa Indonesia adalah satu, tidak melihat perbedaan yang ada, dan semuanya
sama. Hal yang terjadi pada novel Raumanen
malah terlihat adanya pembedaan yang terjadi di antara hubungan Manen dan
Monang, sebuah hukum adat dari suku Batak, yang tampaknya merugikan bagi
pasangan tersebut. Sehingga hal inilah yang merupakan dasar dari pengangkatan
konsep Bhineka Tunggal Ika yang pada
masanya dan pada adat tersebut tidak terealisasikan dengan baik.
b.
Tokoh
Tokoh adalah
individu rekaan yang mengalami peristiwa dalam berbagai peristiwa dalam cerita.
Di samping tokoh utama, ada jenis tokoh lain yang terpenting adalah tokoh
lawan, yakni tokoh yang diciptakan untuk mengimbangi tokoh utama. Konflik di
antara mereka itulah yang menjadi inti dan menggerakkan cerita.Tokoh yang
fungsinya hanya melengkapi disebut tokoh bawahan.[12]
|
|
||||
![]() |
|||
|
|||
·
Karakter Manen
Perempuan Manado yang berani, cantik, lincah, rajin, dinamis,
indpenden.
“monang
tercengang. ‘kau tak peduli? Tak cemburu?’” (h.53)
“cara
pacaran yang modern!” kata patrik kagum. ‘kau betul pandai, Nen. Kau tak
mengikat, karena itu monang merasa begitu aman di sisimu.” (h.54)
·
Karakter Monang
Laki-laki Batak yang cerdas otak, dan lidahnya.Memiliki karakter ‘ceplas-ceplos’, liar, pandai merayu perempuan, playboy
dan pengecut.Berikut ini kutipannya.
“Raumanen!Monang
menjabat tangan Manen, seraya membungkuk hampir berlipat dua.“Raumanen … romantis
betul namamu itu!” (h.11)
“Monang
yang selalu kebal, acuh tak acuh, gila perempuan, itulah Monang yang
dikenalnya.” (h.41)
“Laung
memang kuat wataknya, pikir Manen.Akan dipertahankannya cintanya. Tapi … Monang?”
(h.46)
“Senang
… pikir Manen.Bukan cinta. Monang tak cinta padaku, Cuma senang, …” (h.63)
·
Karakter Patrik
Patrik memiliki karakter yang dewasa dan sangat peduli terhadap
Manen.Adapun kutipannya adalah sebagai berikut.
“Patrik pun berusaha menginsafkan Manen. Diaturnya mukanya dalam
seri paras yang dijuluki ‘wajah tuan hakim’ oleh Manen: wajah yang selalu
diperlihatkannya bila tak setujun dengan suatu hal-seperti waktu perkenalan
Manen dengan Monang dulu.” (h.44)
·
Karakter Ilyas
Ilyas memiliki karakter yang tenang dan sederhana.
“Lucu
ilyas ini. Orang lain datang ke pesta untu bercengkrama atau untuk berdiskusi
atau makan enak … dan ilyas Cuma tidur saja.”
c.
Sudut Pandang
Sudut
pandang pada dasarnya merupakan strategi, teknik, siasat yang sengaja dipilih
pengarang untuk mengungkapkan gagasan dan ceritanya untuk menampilkan pandangan
hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan yang semua ini disalurkan.[13]Pada
novel Raumanen ini pengunaan sudut
pandangnya adalah sudut pandang orang pertama dan ketiga.
Keunikan
cerita, struktur cerita maupun metode pengisahannya adalah penandaan bagian
cerita dengan metode pusat pengisahan yang selang-seling.Kisahan metode orang
pertama sertaan menandai bagian I, sedangkan metode orang ketiga menandai
bagian II.[14]Maka,
dapat disimpulkan bahwa penggunaan sudut pandang pertama digunakan pada
pencerita tokoh Manen dan Monang, sedangkan sudut pandang orang ketiga
digunakan pada bagian penceritaan kisah masa lalu Manen dan Monang.Hal inilah
yang menjadi nilai lebih dari novel Raumanen.
·
Sudut pandang
orang pertama “akuan,” manen: Bab Manen
Akhir-akhir ini, tak pernah lagi teman-temanku datang
menjengukku.Padahal dulu, ketika aku baru pindah kemari, hampir setiap hari
mereka datang.[15]
·
Sudut pandang
orang pertama “akuan,” monang: Bab Monang
Tadi malam, aku bermimpi tentang raumanen. Rupanya kuteriakkan
namanya-karena ketika aku bangun, gemetar dan basah keringat, nama itu masih
bergema dalam kepekatan kamar tidurku.[16]
·
Sudut pandang
orang ketiga “dia-an,” dia maha tahu:
Manen baru saja datang ke
pesta di rumah bapak profesor bersama-sama dengan patrik dan ilyas,
rekan-rekannya dri pengurus pusat gerakan mahasiswa.[17]
d.
Alur
Alur disebut
juga plot, yaitu rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat
sehingga menjadi satu kesatuan yang padu, bulat, dan utuh. Alur terdiri atas
beberapa bagian, awal, tikaian, rumitan, puncak, leraian, dan akhir.[18]
Namun novel
Raumanen, gaya penulisan Marianne Katoppo terkesan jarang dijumpai. Alur dalam
novel Raumanen digambarkan dengan teknik alur balik (back tracking).Susunan
peristiwa dimulai dari masa kini dan pada peristiwa-peristiwa tertentu cerita
ditarik ke belakang, ke masa sepuluh tahun yang lalu.[19]Marianne
berpendapat dalam suatu majalah, “waktu menulis, saya tidak begitu
menyadarinya. Tapi waktu membaca kembali Raumanen saya ingat akan penulis ‘De
Tien Duized Dengen’ Ia baru menulis pada usia 65. Cara bercerita tidak pernah
secara langsung. Dia juga memakai gaya kenangan atau fleshback.Pokoknya,
caranya khas.Lain dari biasa.”[20]
Lewat cerita Raumanen yang telah berada di alam
barzah novel ini dibuka.Kemudian lewat monang yang telah berkeluarga dengan
gadis pilihan ibunya, cerita dilanjutkan.Demikianlah sampai habis dengan
diseling cerita oleh pengarangnya, tersusun sebuah kisah sendu.Seorang gadis minahasa
yang bunuh diri karena hamil sebelum menikah dan tak ada harapan ayah bayi yang
dikandungnya bisa menjadi suaminya. Ayah bayi itu seorang pemuda batak, yang
meski periang dan kurang ajar dalam pergaulan sehari-hari tapi tak punya nyali
menentang ibunya yang berkukuh pada adat.[21]
e.
Latar
Latar
adalah lingkungan yang meliputi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang
berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.[22]Latar
terdiri dari latar tempat, waktu dan suasana.
·
Latar tempat
Tempat
yang melatari cerita dari novel Raumanen adalah Jakarta (Kebayoran
baru), Bogor (Cibogo), dan Bandung (Bukit Dago). Kutipan yang menjelaskan
tempat tersebut khususnya Bandung adalah sebagai berikut.
Ia dan Ilyas diutus ke Bandung mewakili pengurus pusat pada acara
perkenalan mahasiswa di sana. Monang telah berjanji mengantarkan mereka, karena
toh harus menjemput ibunya yang sedang bisnis ke Bandung. (h.25)
“Aku belum bersedia,” pikir Manen, ketika mobil itu meluncur turun
dari Bukit Dago, membawa mereka kembali ke acara api unggun. (h.42)
“Rupanya akan hujan deras.Langit sudah hitam sekali di atas Bogor
sana.”(h.62)
Turun dari puncak, mobil Monang mogok di Cibogo, di tengah hujan
deras.(h.62)
Sesudah mengantarkan Anton, jalan terpendek ke rumah Manen
sebetulnya melalui jalan Jenderal Sudirman yang terang dan ramai itu. Tetapi
Monang membelok di Jembatan Semanggi, ke arah Jakarta Bypass.(h.58)
Rumah
itu letaknya di Kebayoran Baru. Bagian kota yang baru, pesat dipenuhi
bangunan-bangunan baru. Kantor, instansi, asrama … (h.67)
·
Latar waktu
Waktu kejadian dalam peristiwa pada novel ini adalah tahun 1960-an.
Adapun kutipan yang menandai tersebut adalah sebagai berikut.
“Hampir
20 tahun sesudah revolusi, sesudah dua windu lebih penduduk nusantara berpengalaman
hidup sebagai ‘orang Indonesia’, ternyata beban prasangka serta wasangka
terhadap suku lain masih belum dapat dilepas orang begitu mudah.” (h.22)
·
Latar suasana
Suasana yang melinyelimuti novel Raumanen berupa kebahagiaan,
cemburu, kesedihan, kegelisahan, amarah, kekecewaan,letih, hingga putus asa.
siapapun
dia, sangat lucu lawaknya. Manen turut tertawa dengan tamu-tamu lainnya.
“abangku sudah ada lima orang, tetapi selalu masih ada lowongan seorang lagi,
kalau berminat!” celetuknya lincah. (h.10)
“O,”
kata Manen. Mengapa ia harus merasa cemburu? Tetapi dibayangkannya Monang dan
Lori bermesraan bersama-sama di kegelapan ruang bioskop – dan mau tak mau ia
merasa cemburu. (h. 26)
Tetapi
kali ini ia tidak peduli. Berjalan tanpa melihat atau mendengar sesuatu pun.
Dan baru di jembatan itu, melihat air Ciliwung buas membuih dibawah sana,
disadarinya bahwa mukanya basah air mata. (h.88)
Manen
gelisah mematakan tusuk satenya.Tiba-tiba diambilnya suatu keputusan.“norah.”
Katanya, “ini penting sekali.Antarkan aku ke Kebayoran, ke rumah Monang.” (h.90)
Manen
merasa pusing, lemah, dan teramat jemu. Jantungnya berdebar-debar tak karuan,
dan ia berkeringat dingin. Saat itu tak dirasakannya kesedihn atau kepahitan
apa pun, Cuma keletihan yang tak terungkap. (h. 93)
“aku
tak dipersilahkan masuk, pikir manen. Wajarkah itu, bahwa aku datang ke rumah
pacarku, lalu tak dipersilahkan masuk? Malahan kelihatannya ia takut kalau
sampai ketahuan atau kelihatan ibunya!
Siapakah
monang itu sebetulnya?
Seorang
laki-laki yang tulus kucintaidan membalas cintaku … atau seorang anak yang tak
pernah terpotong tali pusarnya?
(h.94)
Tetapi
pisau itu sudah jatuh kelantai.Dan Raumanen terkapar di atas ranjang, menutup
mukanya dengan kedua belah tangannya. Dan darah yang mengalir dari pergelangan
tangannya, … (h. 128)
f. Gaya Bahasa
Gaya bahasa merupakan hal yang ikut
mempengaruhi bahasa dalam sebuah karya sastra.Dalam novel Raumanen, penggunaan
gaya bahasa yang disajikan adalah metafora, personifikasi, asosiasi, hiperbola,
dan sinestesia.
“Dan
menyeretku ke jurang kekalahanmu.” (h.1)
“Harapanku
gugur seperti bunga-bunga layu yang mengias rumah tetangga-tetanggaku.” (h.2)
“Hujan,
pembasuh berita lama.” (h.2)
“Aku
takkan menambah sekerikil pun ke atas bebanmu.” (h. 4)
“Mengapakau
begitu ganas menyerangku?”(h.11)
“…
Kata Tiur manis.” (h.17)
2.
Konsep Bhineka
Tunggal Ika Marianne Katoppo dalam tokoh Raumanen
Bhineka Tunggal Ika
adalah semboyan negara Republik Indonesia yang ditetapkan berdasarkan PP No. 66
Tahun 1951, yang mengandung arti ‘Walaupun berbeda-beda tetap satu’. Menurut
Supomo dalam buku Bhineka Tunggal Ika Dalam Kehidupan Bermasyarakat,
Berbangsa dan Bernegara (2007) menyebutkan bahwa semboyan tersebut menggambarkan gagasan dasar,
yaitu menghubungkan daerah-daerah, pulau-pulau, dan suku-suku bangsa di seluruh
Nusantara menjadi Kesatuan-Raya. Bhineka Tunggal Ika sendiri sudah ada sejak abad XIV yang ditulis oleh Empu Tantular
dalam kitab Sutasoma. Konsep Bhineka Tunggal Ika yang lengkapnya
berbunyi Bhineka Tunggal Ika Tanhana Dharmma Mangrva, merupakan kondisi
dan tujuan kehidupan yang ideal dalam lingkungan masyarakat kita bersifat
alamiah dan merupakan sumber kekayaan budaya bangsa yang sudah ada sejak
nenek-moyang kita.[23]
Pada novel Raumanen, konsep Bhineka Tunggal Ika
dihadirkan Marianne Katappo melalui tokoh Manen, gadis Minahasa yang jatuh
cinta kepada Monang, laki-laki yang bersuku Batak. Dan hal yang mendasari
konflik dalam novel ini adalah melalui tokoh Ibu Monang, seorang wanita yang
masih memegang teguh konsep kesukuan dalam pernikahan bahwa anak Batak harus
menikah dengan Batak juga, meski kejadian ini terjadi di Jakarta bukan di
daerah Batak.
Monang seorang insinyur muda dan berpendidikan serta berwawasan
luas, namun masih terkekang dalam konsep suku yang dipegang kuat oleh
keluarganya. Ia masih belum ada keberanian untuk menolak konsep tersebut meski
ia adalah tokoh yang intelek. Sedangkan pada tokoh Manen yang berasal dari
Minahasa memunculkan sikap yang menerima konsep kesatuan yaitu Bhineka
Tunggal Ika, gadis ini ingin sekali seluruh masyarakat memegang teguh
konsep tersebut dalam kehidupan, dengan begitu Indonesia bisa menyatu dengan
sempurna, tanpa adanya membeda-bedakan satu sama lain. Berikut ini kutipan yang
menandakan bahwa Manen memiliki keinginan penerapan secara menyeluruh menegenai
Bhineka Tunggal Ika.
“Bukankah sekarang kita
semuanya orang indonesia? Apakah manusia sendiri berwenang menentukan
suku bangsa kelahirannya? Dan apa gerangan yang menjadi suku bangsa yanhg satu
lebih bermutu, lebih “Indonesia”, dari yang lain? (h.24)
Novel Raumanen bisa dikatakan juga sebagai
karya yang memiliki harapan adanya penerapan yang signifikan mengenai konsep Bhineka
Tunggal Ika pada masa itu di Indonesia. Karena pada masa 1960-an, waktu
dimana Indonesia baru lahir kemerdekaannya dan masih berusia 15 tahun,
masyarakat Indonesia khususnya di daerah-daerah sangat memegang teguh nilai
kesukuannya. Nilai kesukuan yang dimaksud adalah tidak adanya pembukaan diri
terhadap suku lain dalam penyatuan pernikahan. Sehingga hal ini tentu dapat
merugikan bagi sepasang kekasih seperti Monang dan Manen.Selain itu, hal ini
menjadi sesuatu yang sangat miris dirasakan oleh Marianne karena pada masa
revolusi, masyarakat Indonesia sangat menyatu untuk menggapai kemerdekaan bagi
negeri tercinta, Indonesia. Mereka pada zaman itu tidak melihat asal muasalnya,
semua dianggap sama sebagai bangsa Indonesia.Tapi setelah Indonesia merdeka dan
setelah konsep RIS (Republik Indonesia Serikat) yang digarap oleh Belanda pada
masa agresi belanda I dan II membuat rakyat Indonesia terpecah-pecah kembali
dalam sukunya. Hal ini tentu menjadi kesimpulan bahwa adanya kemungkinan bahwa
bangsa Indonesia belum bisa meresapi makna Bhineka Tunggal Ika. Adapun
kutipannya adalah sebagai berikut.
“… Waktu itu memang Republik masih muda, dan siapa akan menilai
sampai kemana semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ meresap di hati warganya?” (h.22)
Namun begitu, Marianne juga menghadirkan suku yang
sudah dapat menerima dan meresapi konsep Bhineka Tunggal Ika yaitu
melalui tokoh Manen dan orangtua Manen yang bersuku Minahasa yang dalam novel Raumanen
tak pernah mempermasalahkan tentang kesukuan itu, sehingga orangtua Manen
terbuka mengenai hubungan pernikahan Manen nantinya. Kutipannya adalah sebagai
berikut.
“Bagi Manen dan keluarganya, soal kesukuan itu sudah
kadaluwarsa.Dari kelima kakaknya, cuma seorang yang mempersunting gadis
sesukunya.” (h.22)
Pada kutipan berikut ini bisa dilihat bahwa Ayah
Manen merupakan orang yang sangat bangga untuk memegang konsep Bhineka Tunggal
Ika. Di kutipan ini pun terlihat
bahwa ayah Manen ingin keluarga besarnya juga meresapi makna konsep Bhineka
Tunggal Ika dalam kehidupan dengan sebaik-baiknya.
“Bhineka Tunggal Ika! Kata Ayahnya bangga, menghimpun anak-anak
mantu di sekelilingnya.” (h.22)
Sebuah negara untuk bisa menjadi bangsa yang kuat
adalah melalui pemersatuan dalam perbedaan dengan tidak menghilangkan sebuah
ciri khas dari perbedaan tersebut. Konsep Bhineka Tunggal Ika memang
sebuah alat pemersatu bangsa di Indonesia tapi bukan berarti menghilangkan
nilai positif dari daerah-daerah atau perbedaan tersebut.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
1. Raumanen merupakan novel
karya Marianne Katoppo yang menceritakan tentang kisah cinta yang tumbuh dalam
perbedaan suku.
2. Raumanen menggambarkan
sejarah di mana konsep Bhineka Tunggal
Ika belum meresap ke dalam hati bangsa Indonesia pada masanya.
3. Selain menceritakan tentang
peliknya kisah cinta antara dua suku, novel Raumanen
juga menjabarkan bagaimana pergaulan anak manusia yang begitu bebas.
Daftar Pustaka
Palupi,Dwi Endah, Raumanen karya Marianne Katoppo suatu
pendekatan psikologis sastra.http://secoretmimpi.blogspot.com/2010/01/analisis-novel-raumanen-karya-marianne.html, diakses pada 18 april 2013 pukul 11:20 WIB
Dudianata, Meladi dkk.Membaca Sastra. Magelang: Indonesia
Tera. 2003.
Edhi Juwono, Waktu Penceritaan: sebuah Teknik Analisis yan
dikenakan pada Cerkan Raumanen, (arsip HB. Jassin)
Handayani, Sri.Analisis Nilai
Moral Religius dan Sosial Budaya dalam Novel Raumanen Karya Marianne Kattopo
dan Implikasi Pembelajaran Apresiasi Sastra bagi Siswa SMA Kelas III, http://perpus.fkip.ups.web.id/v5/?mod=opaq.koleksi.form&page=147&perpus=pusat&barcode=PBSI0312009, diakses tanggal 30 April 2013 pukul 17:36 WIB
Hellwing, Tineke. In The Shadow Of Change: Citra
Perempuan dalam Sastra Indonesia. Depok: Disantara. 2003
Katoppo, Marianne, Raumanen. Jakarta: Metafor
Intermedia Indonesia. 2006.
Manen, Monang, dan Marianne.Tempo.7 Oktober 1978.
Ratih Mihardja, Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta:
Laskar Aksara
Sujanto, Bedjo. Bhineka
Tunggal Ika Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta:
Sagung Seto. 2007.
Zaidan, Abdul Rozak, dkk. Kamus Istilah Sastra.
Jakarta: Balai Pustaka. 2007.
[1]Edhi Juwono, Waktu
Penceritaan: sebuah Teknik Analisis yan dikenakan pada Cerkan Raumanen, (arsip
HB. Jassin)
[2] Sri
Handayani, Analisis Nilai Moral Religius dan
Sosial Budaya dalam Novel Raumanen Karya Marianne Kattopo dan Implikasi
Pembelajaran Apresiasi Sastra bagi Siswa SMA Kelas III, http://perpus.fkip.ups.web.id/v5/?mod=opaq.koleksi.form&page=147&perpus=pusat&barcode=PBSI0312009,
diakses tanggal 30 April 2013 pukul 17:36 WIB
[3] Dwi
Endah Palupi, Raumanen Karya Marianne Katoppo (suatu Pendekatan Psikologis Sastra),http://secoretmimpi.blogspot.com/2010/01/analisis-novel-raumanen-karya-marianne.html,
Diakses tanggal 18 april 2013 pukul 11:20 WIB
[4]anonim
[5]Anonim, Ensiklopedia Sastra Indonesia, (Bandung:
Titian Ilmu, 2004), h.489.
[6]Marianne Katoppo, Raumanen (Jakarta:
Metafor Intermedia Indonesia, 2006), h. xvii
[11]Abdul Rozak Zaidan, dkk. Kamus Istilah Sastra. (Jakarta:
Balai Pustaka, 2007) h. 204
[12]Melani Budianata, dkk. Membaca Sastra,
(Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 86
[13]Albertino Minderop, Metode Karakteristik Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005),h.88.
[14]Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), h.86
[18]Ratih Mihardja, Buku
Pintar Sastra Indonesia, (Jakarta: Laskar Aksara), h. 6-7
[19] Dwi
Endah Palupi, “Raumanen karya Marianne Katoppo suatu pendekatan psikologis
sastra,” skripsi diakses pada 18 april 2013 jam 11:20 WIB dari http://secoretmimpi.blogspot.com/2010/01/analisis-novel-raumanen-karya-marianne.html
[20]“Sebuah
Dunia Yang Mempesona,” Femina, 17 Februari 1976, h. 37
[21]“Manen, Monang, dan Marianne,” Tempo, 7 Oktober
1978, h. 41
[22]Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h.26
[23]Dr. Bedjo Sujanto, M.Pd, Bhineka Tunggal Ika
Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: Sagung
Seto, 2007), h.1.
Komentar