Dengan Menulis, Hati Terasa Ringan

Dengan Menulis, Hati Terasa Ringan

Menulis, salah satu kegiatan yang menurut saya cukup mengasyikan. Dengan menulis, segala yang tertanam dalam pikiran dan hati bisa tersampaikan dengan baik. Karena dengan menulis, orang seperti saya yang bisa disebut tak pandai bicara ini mampu mengungkapkan hal yang saya rasa.
Ada sebuah kenikmatan tersendiri dari menulis. Menulis memang tidak bisa memberikan jalan keluar. Namun setidaknya hati bisa terasa ringan.

Kondisi itu hampir serupa dengan tersenyum. Senyuman memang tidak bisa menyelesaikan masalah. Namun setidaknya, kita merasa tenang walau sesaat meski di tengah gempuran masalah yang menerpa hidup kita. Karena itulah, mari budayakan menulis!! :-)


Menulis membawa saya ke dalam dunia jurnalis
Awalnya, saya tidak pernah berpikir sama sekali untuk bisa mnjadi seorang jurnalis; wartawan atau reporter. Mereka terasa asing dan sulit saya pahami.

Saya selalu berpikir menjadi jurnalis itu rumit. Dalam pandangan saya,  jurnalis adalah orang-orang yang bodoh. Ya, mereka bodoh karena mereka rela terjun ke lapangan, berpanas-panasan, harus basahan-basahan, bahkan harus rela terluka demi mendapatkan suatu berita. Ditambah lagi mereka harus menulis tugas berita yang seabrek di koran. Saya benar-benar tidak minat kala itu dengan yang namanya jurnalis.

Ketika hendak memilih jurusan, sempat terbesit untuk bisa masuk ke jurnalistik. Akan tetapi, pilihan itu saya gagalkan. Saya lebih memilih dunia pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Suatu program yang saya pikir sesuai dengan kemampuan saya.

Kenapa saya memilih jurusan itu?
Ada banyak alasan yang melatarbelakanginya. Pertama, saya sangat tertarik dunia keguruan. Ya, pokoknya dengan dunia mengajarnya. Pasalnya, waktu di masa Madrasah Aliyah (MA), saya sempat mengajar TPA sekitar 1 hingga 2 tahun. Saya merasa terpanggil. Saya merasa ada kebahagiaan sendiri apabila mengajar.

Selain bisa mengamalkan ilmu, entah mengapa saya selalu merasa terhibur acapkali melihat wajah-wajah polos murid saya di saat TPA. Semua masalah  dan kepenatan hilang sudah jika melihat mereka.

Alasan kedua, karena bakat menulis puisi. Jujur saja, penilaian bakat itu bukan muncul dari saya pribadi. Pendapat itu muncul dari sahabat-sahabat dan teman sekelas saya. Mereka adalah para pembaca setia puisi saya. Hahaha… lebih tepatnya, kalau ada tugas menulis puisi, mereka akan lari ke saya wkwkw.

Karena ada bakat menulis puisi dan drama, jadilan saya didorong teman-teman untuk masuk sastra. Atas dasar itu, saya pun memutuskan memilih program pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di UIN Jakarta.

Semester demi semester terus saya jalani. Hingga pada akhirnya, saya bertemu salah satu dosen di mata kuliah Menulis Lanjut. Pada masa inilah di mana saya berjumpa dengan namanya menulis berita atau dunia jurnalistik.

Selama satu semester saya dilatih oleh dosen idola saya ini perihal menulis dalam dunia jurnalistik. Entah mengapa saya mulai merasa tertarik dengan dunia ini. Ketertarikan saya tampak semakin menguat setelah dosen saya  mengajak angkatan saya untuk terlibat dalam tulisan majalah Jurnal Wisuda UIN Jakarta.

Majalah Jurnal Wisuda ini sebenarnya milik rektor UIN secara langsung. Artinya, editor, pemred dan keuangan diperoleh dari direktorat. Majalah ini sendiri terbit setiap wisuda dengan tema ke-UIN-an pastinya.. J Di momen inilah, kemampuan menulis saya semakin digenjot. Dan di saat itulah kecintaan saya dalam menulis ficer dan berita semakin menguat.

Bagaimana saya bisa masuk ke dunia media massa?
Sebelum saya jadi wartawan di salah satu media di Indonesia, saya adalah guru. Saya sempat jadi guru TPA selama dua tahun ketika masa Aliyah. Kemudian, kegiatan mengajar saya berlanjut dari semester tiga hingga tujuh di salah satu SMP wilayah Tangerang Selatan. Selanjutnya, saya sempat menjadi guru bahasa Indonesia pula di tempat saya sekolah sebelumnya, MAN Serpong.

Saat masa skripsi, seluruh kegiatan organisasi dan mengajar saya hentikan. Saya benar-benar ingin fokus. Namun kefokusan saya sempat melipir akibat broadcast whatsapp dari sahabat saya di grup.

Sahabat saya mengirim adanya lowongan kerja sebagai reporter di salah satu media. Ada begitu banyak persayaratan yang diajukan pada tulisan itu. Salah satunya, yakni S1 dan fasih bahasa Inggris.

Ketika membacanya, saya masih ragu kala itu. Namun rasa ragu itu entah mengapa semakin memupus dari waktu ke waktu. Dan hingga pada akhirnya, saya memutuskan untuk mengajukan lamaran dengan modal IPK, bukna ijazah S1. Jujur saya, saya coba-coba saat itu. Saya tidak terlalu banyak berharap (saya tahu dirilah hehe)

Karena tidak terlalu berharap, saya pun sempat terlupa dengan lamaran itu. Saya pun kembali ke dunia skripsi saya yang ketika itu tinggal selangkah lagi.  Menjelang akhir masa revisi skripsi, saya pun mendapat sebuah SMS dari pihak redaksi media tersebut.

“Saya diterima dan diminta untuk wawancara,” begitulah tulisannya. Bukannya bahagia yang saya rasakan ketika itu. Saya lebih merasa bingung. Kok bisa ya saya diterima? Kan saya belum S1! Hmmmm…. Meski bertanya-tanya, pada akhirnya saya pun mendatangi tempat media itu untuk diwawancara hahaha… Tekad ini semakin kuat setelah ada dukungan dari orangtua terutama ayah dan sahabat saya.

Ada sedikit cerita tentang takdir saya yang berhasil menempatkan diri di media itu dan ayah saya. Salah satu mengapa ayah mendukung saya bekerja sebagai wartawan, karena jelas ada latar belakang di balik itu semua.

Selagi muda, ayah saya merupakan pembaca setia koran itu. Bahkan, dia acapkali mengirim puisi ke media itu dan selalu diterbitka. Selain itu, ayah juga memiliki kenalan dengan wartawan (sekarang redaktur) di tempat itu.

Nah, jika melihat kondisi demikian, saya rasa tidak ada yang kebetulan di dunia ini.  Takdir hidup itu seperti tali yang saling menyambung satu sama lain. Ya, itu terbukti dengan takdir yang mempertemukan saya dengan dunia jurnalistik di media itu. Antara kehidupan ayah di kala muda dengan kondisi saya saat ini ternyata ada keterkaitannya.

 Atau, mungkinkah ada takdir-takdir lainnya di balik semua ini yang belum terungkapkan? Hmmm… kita tunggu saja, kawan! Hehe…


Wilda fizriyani

Komentar

igrow mengatakan…
Mantap, tetep semangat dik.

eh PMII nih
Sebisa mungkin kita jujur dalam memberikan informasi
dan memperbanyak konten informasi positif yang membanggakan negeri ini, janganlah berita hanya dipenuhi konten yang merusak citra bangsa kita.
Wildafiz mengatakan…
Wah makasih atas dukungan dan sarannya 😉

Postingan populer dari blog ini

analisis raumanen

contoh laporan observasi administrasi pendidikan

ABOUT SUPER JUNIOR (picture;photos) :)