Contoh Cerpen
Mimpi Hasan
Cerpen Wilda
Fizriyani
Sengatan
matahari mulai memanas hari ini. Asap-asap knalpot kendaraan pun, membuat
suasana halte bus itu semakin tak karuan. Tapi, situasi seperti ini tidak
membuat seorang anak laki-laki yang bernama Hasan berhenti untuk berjualan
koran. Bulir-bulir keringat di wajahnya pun, sudah mulai bercucuran hingga
membasahi kulitnya yang berwarna sawo matang.
“Koran!Koran!
Koran! Koran!” teriak Hasan.
Meski
suaranya sudah mulai serak. Ia terus menawarkan korannya kepada setiap orang
yang datang ke halte bus.
“Dek
Hasan!” sesosok laki-laki paruh baya berbaju kemeja putih, memakai
kacamata minus dan memegang tas kantor
hitam memanggil Hasan.
“Eh, Pak
Dani? Beli korannya, Pak?” Hasan menghampiri
Pak Dani untuk menawarkan koran.
Pak Dani
adalah langganan tetap Hasan. Ia hampir selalu membeli koran milik Hasan,
setiap hendak berangkat kerja.
“Iya
pasti dong,” sambil memberikan uang dua ribuan.
“Gimana
sekolahmu, San?” tanya Pak Dani dengan rasa simpatinya terhadap Hasan.
Pak Dani
sudah mengenal Hasan cukup lama. Semenjak Hasan mulai berjualan koran di halte
bus, setahun yang lalu. Sosok Hasan menjadi perhatian baginya, karena kerja
kerasnya dalam berjualan koran demi melanjutkan sekolah. Sejak saat itulah, Pak Dani memutuskan untuk
menjadi langganan Hasan dan membantu penghasilan jualan koran Hasan tiap
harinya.
“Alhamdulilah,
Pak! Semester ini saya mendapat rangking
satu lagi.” Hasan tersenyum senang dan bangga saat mengatakannya.
Sambil
menunduk, Hasan menyimpan rasa kebangaannya itu. Tiap kali, ia menceritakan
prestasinya. Ia hanya ingin membuktikan, bahwa perjuangannya selama ini untuk
melanjutkan sekolahnya tidaklah sia-sia. Meski keadaan ekonominya sangat
rendah. Apalagi sosok seperti Pak Dani,
Hasan sangat kagum terhadapnya. Karena beliau selalu memotivasi ia untuk
terus melanjutkan sekolahnya.
“Wah,
bagus sekali! Kalau kamu bisa terus mempertahankan prestasimu sampai lulus SMP
nanti, kamu bisa meminta dan memohon
beasiswa kepada sekolahmu untuk melanjutkan SMA.” Senyum Pak Dani terus
mengembang di bibirnya. Ia merasa, rasa kagumnya semakin besar terhadap Hasan.
“Iya,
Pak! Insya Allah saya usahakan.” Mata Hasan berbinar-binar.
Dengan
penuh tekad yang membara, untuk terus bisa merasakan manisnya pendidikan dan ia
ingin membuktikan, bahwa pendidikan itu
tidak hanya bisa dirasakan oleh orang-orang kaya.
Teet…
Teet… Teet….
Kedua
laki-laki itu pun tersentak kaget bersamaan. Mendengar suara klakson, dari bus
yang sudah tiba di halte. Mereka pun berpisah, lalu melanjutkan kegiatan mereka
masing-masing.
Dua
minggu kemudian
Bangunan
kecil itu memang tak begitu mewah, tapi halaman dan tanaman di sekitarnya
sungguh membuat mata siapapun akan mengalihkan pandangannya untuk sekedar
melihatnya. Bunga-bunga kecil yang harum dan berwarna-warni, sungguh menarik
perhatian dan kumbang-kumbang yang ada di sekitarnya. Sangat indah.
Di rumah
sederhana inilah, Pak Dani dan keluarganya tinggal dengan bahagia dan rukun
tanpa ada percekcokan yang tidak
penting, yang biasanya terjadi di setiap kehidupan rumah tangga.
Saat
ini, keluarga Pak Dani sedang berkumpul di ruang makan untuk makan malam
bersama. Mereka memang selalu melakukannya. Ini adalah kegiatan rutin mereka
sebagai jalan mempererat diri antar anggota keluarga. Maka dari itu, wajar saja
kehidupan mereka sangat tentram. Mereka juga saling terbuka satu sama lain,
jadi tidak ada yang ditutupi di dalam kehidupan keluarga mereka.
Ruang
makan itu begitu sederhana. Di meja makan itu ada tiga orang, satu laki-laki
yaitu Pak Dani dan dua lagi adalah istri dan anak beliau.
Gadis
itu berambut ikal dan kulitnya kuning langsat, itulah putri Pak Dani, Sally. Ia
terus memegang tangan ayahnya dengan manja.
“Ayah..!!
Minggu depan aku pingin sekali jalan-jalan ke pasar malam. Kita pergi
bersama-sama ya? Sama ibu juga,” mata lentiknya terus menatap manja ke arah
wajah ayahnya, berharap Pak Dani akan memenuhi permintaannya.
“Insya
Allah ya, Sayang. Nanti ayah usahakan,” tangan Pak Dani terus mengelus rambut
Sally sebagai tanda kasih sayangnya terhadap putri satu-satunya itu.
“Sudah
ah. Kalian berdua bikin iri ibu saja….”
ucap Ibu Dani dengan nada meledek.
Wajah
Ibu Dani sangat mirip dengan Sally, cantik.
Pak Dani
sangat bersyukur memiliki keluarga yang sakinah dan penuh cinta ini, memiliki
istri dan putri yang begitu baik dan lembut pula.
Di
tengah-tengah makan malam mereka, Pak Dani tiba-tiba menghentikan makannya. Ia
bermaksud menyampaikan satu rencana yang dia harap bisa diterima oleh putri dan
istrinya.
“Bu!
Saya punya rencana untuk mengangkat anak asuh. Saya berniat untuk membiayai
biaya pendidikan Hasan. Tentu Ibu dan Sally sudah tahu tentang dia, dari
cerita-cerita ayah selama ini. Ayah sangat bangga terhadap perjuangannya untuk
sekolah dan apa yang akan ayah lakukan buatnya, ayah anggap sebagai hadiah atas
kerja kerasnya. Menurut ibu bagaimana?” tanya Pak Dani penuh harap akan
penerimaan rencananya tersebut.
Ibu Dani
terdiam sambil mencerna kata-kata yang baru saja diucapkan suaminya. Lalu ia
pun tersenyum dan menatap wajah sang suaminya dengan lembut.
Sambil
memegang tangan Pak Dani, “Tentu saja aku setuju, Yah.”
Senyum
Ibu Dani terus mengembang dan bergantian menatap wajah suami dan putrinya
secara bergantian.
Tiba-tiba
saja Sally bertanya, “Mengapa ayah ingin sekali membantunya? Memangnya dia
tidak punya Ibu atau Bapak? Apa orang tuanya tidak ada?” Tanya Sally dengan polos.
Maklum
saja, Sally masih berusia lima tahun. Orang tuanya pun memahami
ketidakmengertiannya. Karena selama ini ia tidak pernah tahu latar belakang
kehidupan Hasan. Bertemu dengan Hasan pun belum. Ia sangat penasaran tapi ia
percaya bahwa Hasan adalah anak yang baik. Bukan anak nakal, yang selama ini ia
temui bersama teman laki-lakinya di TK. Hal itu disebabkan karena Ia percaya
kepada ayahnya. Ayahnya, Pak Dani tidak pernah berbohong, selama ini ia selalu
diajari oleh ayah dan ibunya untuk tidak berbohong.
“Oh,
kamu belum tahu ya?” Sally mengangguk.
“Hasan
itu tidak punya ayah. Ayahnya sudah meninggal saat ia masih bayi. Sekarang dia
hidup bersama ibunya sendiri. Ibunya hanya kuli cuci. Tentu saja uang yang
dihasilkan ibunya tidak mencukupi untuk biaya sekolah. Jadi, karena itulah
Hasan jualan Koran supaya bisa membantu ibunya dan membiayai sekolahnya juga,”
kata Pak Dani dengan senyum.
Ia
begitu gemas dengan wajah Sally yang serius mendengarkan. Wajah Sally begitu
lucu. Apalagi sifat dan sikap Sally yang selalu bertanya jika ada keraguan atau
hal yang belum ia ketahui. Itu membuktikan bahwa Sally adalah sosok gadis kecil
yang pintar dan berani bertanya jika ia tidak tahu.
“Wah
kasihan sekali.. padahal dia sangat pintar ya, Yah?” sembil merenung.
“Kalau
begitu, aku setuju sekali kalau ayah ingin membantunya. Aku sangat senang
sekali. Lebih senang lagi kalau ternyata aku memiliki ayah dan ibu yang sangat
baik. Aku janji, aku juga akan melakukan hal yang sama nanti. Membantu orang
itu buat kita senang ya, Yah? Ya, Bu?” Sally begitu bersemangat menyampaikan
pendapatnya.
Pak Dani
sangat bangga dan berharap kelak putrinya menjadi orang yang berguna bagi nusa,
bangsa, dan agama.
Keesokan
harinya,
Sang fajar sudah mulai bangun dari tempat
tidurnya. Aktivitas di halte pun sudah mulai ramai. Begitu pula dengan Hasan.
Sambi menunggu jam sekolah, ia menjual koran-korannya seperti biasa. Entah
mengapa hari ini, koran yang dijual Hasan, terjual habis. Hasan merasa hari ini
adalah hari keberuntungannya dan ia sangat senang, serta menikmati momen
tersebut.
Tiba-tiba tangan besar, kasar namun
hangat memegang bahunya dengan lembut. Hasan pun barbalik badan untuk
mengetahui siapa pemilik tangan tersebut.
“Eh, Pak
Dani! Bikin kaget saja.” ekspresi
senang pun sudah menghiasai wajahnya yang sebelumnya dipenuhi rasa kekhawatiran.
Pak Dani hanya tersenyum ramah, “Maaf ya Hasan, sudah buat kamu kaget.”
Tanpa menunggu lama lagi, Pak Dani pun menungkapkan
maksud dan rencana yang sudah disiapkan untuk Hasan berdasarkan diskusi
malamnya bersama istri tercinta. Lalu Pak dani mengajak Hasan duduk di dua buah kursi yang kosong.
“Hasan, Bapak
punya satu hadiah buat kamu.”
“Apa, Pak?” Hasan dibuat penasaran oleh pertanyaannya.
“Bapak dan istri, berkeinginan untuk menjadi orangtua asuhmu. Agar kami bia
membiayai sekolahmu sampai kuliah nanti,” ucap Pak Dani dengan mantap.
“Ah, yang benar?” Hasan terperanjat dan menatap kaget
terhadap apa yang dikatakan Pak Dani
barusan.
Hasan hanya dibuat bengong olehnya. Tangan Pak Dani pun
menggenggam bahu Hasan untuk membawa kembali Hasan ke alam sadarnya.
“Ya sudah. Daripada kamu bengong, lebih baik kamu pergi
ke sekolah sekarang. Sudah pukul tujuh, nanti kamu terlambat,” tatap Pak Dani.
Lalu Hasan pun mencium tangan Pak Dani dan berlari menyebrangi jalan untuk
sekolah. Hatinya seperti terbang ke awan. Pak Dani pun semakin bersemangat untuk menjadi ayah asuhnya. Tapi
tiba-tiba…
“Braaak....”
Sebuah mobil sedan menabrak sesosok anak laki-laki
berpakaian SMP dan menghentikan mimpi-mimpinya seketika. Sedangkan sesosok
laki-laki paruh baya hanya menatap tak percaya di pinggir jalan.
Komentar